Bismillah...
Hello Blogger... It's been
ages!
Sebelumnya mau minta maaf dulu untuk para readers yang minta contoh dokumen atau info catering dll terkait persiapan wedding. Saya udah lama banget ga buka blogger jadi ga baca komen-komen kalian. Maaf banget yaa...
Here we go...
Pagi ini setelah melihat cuplikan Desak Anies di Yogyakarta
(Edisi Pendidikan) via Twitter, tiba-tiba keinginan untuk menulis muncul lagi.
Eits, saya bukan mau bahas soal capres-cawapres ya, khusus topik tersebut
mungkin akan saya bahas ditulisan berikutnya berikutnya berikutnya dan
disclaimer dulu bahwa saya bukan pendukung salah satu paslon capres-cawapres.
Saya masih belum menentukan pilihan, masih mendalami visi misi paslon
capres-cawapres sampai hari ini.
Back to topic, di Desak Anies Edisi Pendidikan di
Yogyakarta, ada salah satu seorang penanya bernama Zia berusia 15 tahun. Ia
bertanya bagaimana sikap Pak Anies mengenai kurikulum di Indonesia yang mana
kecenderungan sekolah menyamaratakan kemampuan murid sedangkan kemampuan anak
murid tidak semuanya sama, namun berbeda-beda. Kemudian ia juga memaparkan
konteks latar belakang dari pertanyaan yang ia sampaikan. Saat di TK kecil
dahulu ia mengalami kesulitan membaca, dan juga kondisinya saat itu bahwa ia adalah
murid pindahan dari kota lain, dan menurutnya juga usia anak saat TK ialah
waktu atau masanya bermain. Hingga akhirnya ada satu momen dimana ia dan
orangtuanya dipanggil ke sekolah terkait ketidakmampuannya untuk membaca, bahwa
menurut gurunya, Zia mengidap dyslexia. Padahal saat ini di usia Zia 15
tahun ia mampu membaca buku bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan lancar.
Disitu menjadi pertanyaan, bagaimana sikap Pak Anies mengenai situasi
tersebut? Untuk jawaban lengkapnya bisa dilihat melalui link di bawah
ini.
Pak Anies berkata "Di fase pendidikan usia dini, tidak
boleh anak-anak diharuskan bisa membaca dan menulis, tidak boleh, itu masa
bermain, biarkan anak-anak bermain. Nanti masuk SD baru mulai belajar membaca menulis". Pak Anies juga menyampaikan pengalaman pribadinya bahwa ia masuk
TK umur 3 tahun, dan masuk SD umur 7 tahun, beliau mengenyam pendidikan TK
selama 4 tahun, dan baru belajar membaca dan menulis saat kelas 1 SD. Kemudian
beliau berkata bahwa ia beruntung karena baik orangtua maupun gurunya tidak pernah memaksanya
untuk bisa calistung saat TK. Dan beliau sering menyampaikan kepada orang tua "Jangan
pernah takut anaknya tidak bisa baca tulis ketika TK, kenapa? karena saya
sendiri adalah contohnya. Alhamdulillah besarnya bisa baca dan bisa tulis.
Tidak ada yang namanya terlambat belajar calistung, justru itu (usia dini)
kesempatan bermain (untuk anak) yang harus dijaga".
Saat mendengarkan jawaban dari Pak Anies dan juga cerita singkat Zia saat mengenyam pendidikan usia dini, tiba-tiba bikin
saya flashback saat TK dulu. Saya dulu bisa dibilang murid paling malas di kelas, ga ada motivasi untuk sekolah. Setiap disuruh untuk menulis kata sambung atau huruf tegak, belumlah itu tugas selesai, tapi bukunya sudah saya kumpulkan hahaha bener-bener bikin guru gregetan. Udahlah kena bully karena penampilan fisik, rambut keriting, jidat jenong, malas pula ðŸ˜
Sebenarnya itu semua jadi lingkaran setan, karena tidak nyaman jadi korban bully atau perundungan, membuat malas untuk sekolah, ga semangat untuk mengikuti kegiatan, muncullah sikap ogah-ogahan untuk mengerjakan tugas, membaca maupun menulis, tambah dibully lagi. Tapi rasanya saat itu, isu bully belum menjadi isu yang concerning jadi ya angin lalu saja. Dan seingat saya sampai ada satu guru yang melabeli saya anak pemalas.
"Rita jangan nangis kalau di ganggu sama temannya, Rita harus berani dan percaya diri" (Catatan Khusus Raport TK Cawu I)
"Rita sayang belajarnya harus tambah rajin" (Catatan Khusus Raport TK Cawu II)
"Kalau Rita ingin pintar belajarnya harus tambah rajin"
(Catatan Khusus Raport TK Cawu III)
Note: Rita adalah panggilan kecil saya
Long story short, setelah lulus saya kembali menginjakkan kaki ke TK tersebut. Saya ikut seorang tante yang hendak survei ingin menyekolahkan anaknya (sepupu saya) di TK tempat saya bersekolah dulu. Dan di hari itu, saya melihat guru yang dulu melabeli saya anak malas. Dari kejauhan saya melihat guru tersebut sambil berkata dalam hati "Bu guru, sekarang saya ranking 2 di kelas, saya bukan anak malas..."
Sama halnya seperti yang Zia alami, saya belum bisa membaca dan menulis saat TK dan ada beberapa faktor dibelakangnya. So please, jangan serta merta melabeli anak pemalas, perkembangannya lamban, hanya karena ia tidak bisa membaca dan menulis.
Dan prestasi akademik memang bukanlah segalanya, tapi pasti ada latar belakang mengapa seorang anak sangat berdedikasi tinggi terhadap pendidikannya.
Dear Nafiel, rest assured, InsyaAllah Mama ga akan memaksa kamu untuk bisa lancar membaca dan menulis saat usia dini. Meskipun kadang, to be honest, Mama ketar-ketir juga kalo ngeliat ada teman seumuran kamu yang udah bisa membaca, menulis, mengaji Iqro, atau sudah banyak hafalan surat-surat pendek. Tiap diskusi kekhawatiran Mama ke Papa, Papa selalu bilang "Udah ga usah banding-bandingin anak".
Maklumi Mama ya Nak, Mama hanya khawatir tidak mempersiapkanmu dengan baik untuk mengarungi dunia yang keras ini. Dan InsyaAllah Mama juga ga akan menuntut kamu untuk memiliki prestasi akademik yang cemerlang. Setiap anak pasti memiliki potensi yang berbeda-beda, begitu juga dengan kamu. Selagi kamu mau berusaha dan bersungguh-sungguh, apapun hasilnya, kamu tetap anak Mama dan Papa yang membanggakan ❤️
24 Januari 2024
0 komentar:
Post a Comment